Chapter 03
Tiba-tiba saja…
“…Dia datang!”
Hampir bersamaan dengan jeritan Leonora, kaca patri di balkon hancur berkeping-keping.
Yang melesat masuk adalah bayangan mengerikan bersayap daging. Bawahan Lilith, succubus kelas rendah. Namun kata “rendah” terasa seperti penipuan, karena penampilannya begitu jahat sekaligus cabul. Kulitnya berkilau lengket oleh lendir, di selangkangannya tak ada sehelai kain pun, dan dari alat kelamin yang terbuka lebar itu mengalir benang-benang magis mesum bagai jaring laba-laba.
“Kucium baunya… aroma ‘peju suci’…! Serahkan laki-laki itu padaku!!”
Bersamaan dengan jeritan melengking succubus itu, gelombang kejut tak kasat mata menyapu seluruh aula.
Leonora seketika memanggil pedang api, tapi bilahnya goyah tak mantap. Kabut kemesuman di udara sedang mengganggu magis sucinya.
“Kuh… di saat seperti ini…!”
Setiap kali ia mengayunkan pedang, payudara raksasanya melonjak, dan bobotnya sedikit mengacaukan keseimbangan tubuhnya. Succubus tak melewatkan celah itu.
Lidah panjang bagai tentakel melilit pergelangan kaki Leonora.
“Kyaa!?”
“Ahaha! Sia-sia saja, Putri! Magismu sudah habis, bukan? Daripada menahan diri, lebih baik kau juga tenggelam dalam pelukan Lilith-sama!”
Cakar tajam succubus itu mendekati tenggorokan Leonora yang tak berdaya. Tepat ketika ujungnya hampir menyentuh kulit—
Dosh...suara tumpul terdengar.
“…Eh?”
Leonora membelalakkan mata. Di ujung pandangannya, ada wajah Astor-sama yang berdiri melindunginya. Di bahunya, cakar succubus tertancap dalam, darah segar menyembur keluar.
“A-Astor… sama…?”
“Guh…! Bukan apa-apa… mundur!”
Wajah Astor-sama meringis kesakitan, tapi ia tak mundur selangkah pun. Manusia biasa. Laki-laki yang baru saja datang dari dunia lain, tanpa kekuatan apa pun. Namun tanpa ragu, ia melemparkan diri di depan monster yang jauh lebih kuat darinya.
Aroma darah yang mengalir dari punggungnya menggelitik hidung Leonora. Bau besi sekaligus harum jantan yang begitu kuat hingga membangkitkan naluri terdalamnya.
(Mengapa… padahal aku menolaknya. Memakinya…)
Jantungnya berdetak kencang. Bukan karena takut. Ini adalah nyeri manis yang panas, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Rasa aman karena dilindungi. Dan hasrat tak tertahankan yang mulai tumbuh terhadap laki-laki di depannya.
“…Orang bodoh.”
Dengan tangan gemetar, Leonora meraih tali korsetnya sendiri.
Keraguan sudah tak ada lagi.
“Astor… mundur. Lalu… peluklah aku.”
“Ha…? Sekarang, di sini!?”
“Di sini! Tanpa ‘peju suci’-mu… kita akan tamat di tempat ini! Aku akan pasang penghalang… di dalamnya, cepat!”
Leonora mengerahkan sisa magisnya, menciptakan kubah cahaya merona yang menyelimuti mereka berdua. Waktu di luar melengkung, serangan succubus tertahan sementara.
Di dalam penghalang yang sempit, jarak antara keduanya menjadi nol.
“Ayo, cepat…! Kau pasti tertarik dengan tubuhku, bukan!? Lakukan sesukamu!”
Ia sendiri yang menarik tali bahu gaunnya hingga putus.
Bersama suara kain sutra jatuh basah, dua gumpalan besar yang terbebas dari ikatan melonjak keluar dengan ganas.
“U…hh!”
Astor-sama menahan napas.
Yang muncul di depan matanya adalah payudara raksasa yang sudah layak disebut karya seni. Kulit putih bagai salju, urat biru tipis yang samar terlihat di permukaan. Dan di puncaknya, puting berwarna peach matang yang sudah mengeras karena gairah dan malu.
Terbebas dari tekanan gaun, keduanya bergoyang tap-tap karena gravitasi.
“Jangan hanya menatap…! Sentuhlah… remaslah! Dengan tanganmu, buat aku…”
Wajah Leonora memerah hingga ke telinga, ia berteriak dengan mata berkaca-kaca. Kata-katanya terdengar seperti perintah, tapi suaranya bergetar bagai permohonan.
Astor-sama mengambil keputusan, lalu meletakkan kedua tangannya pada buah melimpah itu.
Rasa yang menyapa telapak tangannya melampaui imajinasi. Lebih lembut dari marshmallow, namun di dalamnya terasa sesak penuh elastisitas. Jari-jarinya tenggelam, daging itu berubah bentuk, lalu mengisap telapaknya seolah tak mau lepas.
“Nnu…!?”
Ketika Astor-sama mengerahkan tenaga di ujung jari dan meremas gumpalan besar itu, dari mulut Leonora bocor jeritan manis.
“Ah, aa…! J-jangan sekeras itu…! Lebih lem—hyau!”
“Maaf, tapi…!”
“T-tidak apa… lanjutkan…! Dadaku… sedang dinodai oleh tanganmu… nnn!”
Astor-sama membuang akal sehatnya, lalu rakus melahap daging payudara itu tanpa pikir panjang. Setiap kali diremas, dada itu berubah bentuk gnya, mnyu, meluap dari sela-sela jari. Ketika ibu jari Astor-sama memilin puting yang sudah tegang, Leonora melengkungkan punggung, memutihkan mata sambil kejang.
“Aaah! Tidak boleh! Di situ sensitif sekali…! Magismu… masuk dari dadaku…!”
“Leonora, aku akan memasukkan…!”
Astor-sama menarik pinggangnya mendekat, lalu mengarahkan panas yang sudah membusung itu ke tempat rahasianya.
Di sana sudah basah kuyup oleh cairan cinta. Martabat sebagai putri meleleh, menjadi madu betina yang hanya menginginkan pejantan, mengalir di sepanjang paha.
“Y-ya… Astor-sama… kesucianku… kupersembahkan…”
Ia memeluk leher Astor-sama dengan mantap.
Lalu, saat penetrasi itu terjadi.
“Gii…!? S-sakit…!?”
Karena rasa robek yang menyakitkan, Leonora menjerit. Dinding daging perawan yang sempit berkontraksi menolak benda asing. Tapi Astor-sama tak berhenti. Ia memegang pinggangnya erat, lalu memukul pasak itu semakin dalam.
“Kuh… sakit ya, Leonora. Tapi, rileks…”
“T-tidak mungkin…! Sebesar ini… tidak muat…! Aku akan robek… isi perutku akan rusak…!”
“Tenang. Lihat aku.”
Astor-sama menutup bibirnya, memberikan ciuman dalam. Lidah saling bertautan, air liur bercampur. Perbuatan itu mengalihkan kesadarannya dari rasa sakit menuju kenikmatan.
Di bagian yang bersatu, pasak Astor-sama sedang membuka paksa, memperlebar, lalu merajalela di dalam vagina yang belum pernah tersentuh. Setiap lipatan mulai menghafal bentuknya, mencengkeram erat sekaligus menyambut dengan gembira.
“Nnn… fua…! Astor… sama… entah kenapa, panas… dasar perutku panas sekali…!”
“Itu dia… aku akan sampai ke dasar.”
Zchu, zpo.
Suara air mesum bergema di dalam penghalang.
Setiap kali Astor-sama menghantam pinggangnya, payudara raksasa Leonora bergoyang liar. Baiin-baiin, bluun-bluun dengan gelombang dahsyat, hingga tubuhnya sendiri ikut terguncang oleh gaya sentrifugalnya. Kedua gumpalan berkeringat itu saling bertabrakan, menghasilkan suara pechi-pechi yang cabul.
“Ah, aah! Bergoyang… dadaku, payudaraku bergoyang…! Malu sekali… tapi enak… lebih keras, hantam lebih kuat!”
“Aah, aku akan keluarkan… semuanya!”
Gerakan Astor-sama semakin cepat. Setiap kali mengetuk pintu rahim di bagian terdalam, Leonora menggeram seperti binatang, mencakar punggung Astor-sama.
“Datang, akan datang…! Ada sesuatu yang meluap… Astor-sama!!”
“Aku keluar, Leonora!”
Dopu! Dopyu!
Astor-sama menempelkan pinggangnya rapat-rapat, lalu melepaskan benih suci keruh putih dengan deras tepat ke pintu masuk rahimnya. Aliran panas yang berdenyut-denyut memenuhi, memperlebar isi rahimnya.
“Ah ah ah ah aaah!! Panas! Keluar di dalam…! Air mani suci… sedang dituangkan ke rahimkuuu!!”
Leonora menjerit keras, melengkungkan tubuh seperti busur saat mencapai klimaks. Pada saat itu, tubuhnya mengalami perubahan.
Air mani suci yang dituangkan menjadi katalisator, memaksa sirkuit magisnya ditulis ulang. Aliran magis yang mengamuk mencari tempat keluar, lalu berbalik arah menuju dada.
“I-iyaaa!? Dadaku… membengkak…!? Apa ini… mau keluar, mau keluaaar!”
Kedua payudara raksasa itu menggembung tak wajar hingga sesak, urat-urat timbul berdenyut. Lalu, ketika mencapai batas—pyuuu!—dari puting yang tegang itu menyemburlah cairan putih berkilau dengan kuat.
“Susu… ibu!?”
“Minum! Astor-sama, minumlah! Inilah… bukti ikatan kita berdua!”
Astor-sama secara refleks menghisap.
Yang menyebar di mulutnya adalah rasa manis susu pekat bercampur magis yang kuat. Setiap kali ia menelan, ia merasakan magis Leonora meluap ganas, semakin menguat.
“Ngu, chuu…! Nn!”
“Aah… dihisap…! Astor-sama sedang menyedot nutrisi dari tubuhku…! Lebih lagi, hisap lebih kuat… telanlah seluruh diriku!!”
Susu meluap, membasahi tubuh keduanya hingga lengket.
Luka Astor-sama yang sedang menghisap susu itu sembuh dengan cepat.
Ketika pesta manis itu usai, penghalang pun pecah berantakan.
“A-apa… magis konyol macam apa itu!?”
Succubus itu mundur ketakutan.
Di sana sudah tak ada lagi sosok lemah seperti tadi. Yang berdiri adalah Leonora yang diselimuti api merah membara dan cahaya emas suci. Gaunnya berantakan, dada terbuka lebar, kulitnya kotor oleh air mani dan susu ibu. Namun penampilannya jauh lebih agung dan indah daripada sebelumnya.
“Berani sekali… kau mengotori Astor-sama-ku.”
Leonora mengayunkan pedangnya sekali saja.
Angin puting api raksasa yang tak tertandingi berputar-putar, menghanguskan succubus menjadi abu sebelum sempat menjerit.
Keheningan kembali.
Yang tersisa hanya bau hangus dan napas tersengal keduanya.
“…Selesai.”
Astor-sama bergumam sambil mengatur napas. Leonora perlahan berbalik.
Ekspresi dewi perang tadi lenyap, diganti tatapan malu-malu seorang gadis perawan seusianya.
“…U-um…”
Ia mencoba menutupi dada yang terbuka dengan tangan, tapi dari sela jari masih menetes cairan putih.
“Itu… luar biasa, Astor-sama.”
“Eh?”
“Tombak Astor-sama… menusuk hingga ke dasar perutku… sedalam itu.”
Wajah Leonora memerah bagai gurita rebus, ia menggeliat malu sambil merapatkan paha. Di sepanjang paha montoknya, benda putih yang dititipkan Astor-sama mengalir perlahan… tsuu…
“Tentu saja Astor-sama harus bertanggung jawab, ya?”
Ia mendorongkan payudara melimpahnya ke lengan Astor-sama, lalu memeluknya erat.
“Mulai sekarang… Astor-sama adalah ‘laki-laki’-ku.”
Dikelilingi bobot, kehangatan, serta aroma susu manis itu, Astor-sama merasakan hari-hari penuh badai yang akan datang. Ia pun memeluk pundak Leonora dengan tegas, seolah sudah siap menghadapi segalanya.
