Seisei no Yuusha Chapter 01


 Chapter 1

Saat kesadaran mulai bangkit, dunia telah diselimuti aroma manis yang lengket dan menggoda.

Ingatan masa lalu bagai film usang yang warnanya pudar, hanya berkedip-kedip sebagai potongan gambar di benaknya. Hutan beton, ruang kelas yang hambar, suara kapur memukul papan tulis. Dan cahaya lampu merah yang kabur di persimpangan pada hari hujan. Nama. Ya, namanya sendiri. Ia masih samar-samar ingat bahwa dulu ia adalah seorang pelajar, tapi nama pasti yang melekat pada dirinya itu tak kunjung muncul. Seolah seseorang dengan sengaja menumpahkan tinta hitam, mengaburkannya hingga tak terbaca lagi.

“…Apakah kau sudah sadar, wahai Pendatang dari Dunia Lain?”

Suara itu bukan sekadar menggetarkan gendang telinga, melainkan langsung mengelus saraf-sarafnya dengan kelembapan yang menggigit.

Dengan susah payah ia mengangkat kelopak mata yang berat. Yang pertama kali menyambut penglihatannya adalah aula megah sebuah istana kerajaan yang begitu mewah hingga menyilaukan. Namun, aula ini berbeda dari segala bangunan bersejarah yang pernah ia kenal. Pilar-pilar batu seolah berdenyut seperti otot makhluk hidup, dan lukisan fresko di langit-langit—para malaikat di sana—menatap ke bawah dengan mata basah oleh ekstase.

Dan tepat di depannya, berdiri seorang wanita.

Mengenakan gaun merah darah, rambut merah membara mengalir di punggungnya, ia memancarkan tekanan yang membuat napas tersengal sekaligus pesona sensual yang nyaris brutal. “Putri Mahkota Pertama Api”, Leonora. Keberadaannya sendiri seolah menjadi pusat dari ruang yang telah menyimpang ini.

“Aku adalah Leonora. Putri Mahkota Pertama Edenfilia, sekaligus orang yang merisaukan kerajaan ini yang sedang runtuh.”

Setiap kali ia melangkah turun dari tangga takhta, bukit kembarnya yang terlalu melimpah itu bergoyang berat, tunduk sepenuhnya pada gravitasi—tap, tap—dengan massa yang begitu nyata. Kain sutra tipis gaunnya secara terang-terangan membentuk lekuk payudara yang bagaikan buah matang menegang, bahkan tonjolan di puncaknya tak segan menonjol tanpa malu. Setiap kali ia bernapas, bagian dada gaun itu seolah merintih kesempitan, memperlihatkan kulit putih bak porselen. Goyangan itu bukan sekadar fenomena fisika biasa—ia memiliki daya tarik magis yang memaksa pandangan siapa pun tertarik ke sana.

“Wajahmu mengatakan bahwa kau belum paham situasi ini. Wajar saja. Karena kau adalah penyelamat yang kami panggil sebagai harapan terakhir… Astor-sama.”

Astor-sama menelan ludah dengan susah payah, akhirnya berhasil merangkai suara.

“Dipanggil…? Di mana ini? Dan udara aneh ini…”

“Ini adalah Edenfilia. Dulunya surga yang diberkati para dewa. Namun kini, dunia kami sedang ditimpa kutukan—tidak, invasi—dari ‘Ratu Iblis Kemesuman, Lilith’, hingga hukum-hukum alam sendiri sedang ditulis ulang.”

Leonora menundukkan mata yang dipenuhi duka, lalu meletakkan tangan di dada yang melimpah itu. Ujung jarinya tenggelam ke dalam daging yang lembut. Ia kemudian membalikkan badan, melangkah menuju balkon besar di aula itu. Astor-sama, seolah ditarik tak terlihat, mengikuti dari belakang.

Begitu melihat pemandangan yang terbentang di bawah, Astor-sama kehilangan kata-kata.

Yang ada di sana bukanlah ibu kota tragis yang sedang menuju kehancuran.

Melainkan neraka manis lagi mengerikan, seolah seluruh dunia sedang birahi dan tenggelam dalam pesta gila.

Langit berwarna merah muda dan ungu mencolok, awan-awan saling melilit seperti lendir sambil mengalir perlahan. Tanah itu sendiri memerah bagai demam tinggi, dan dari permukaan bumi terus-menerus mengepul uap putih—bukan, itu kabut feromon yang memancarkan aroma manis seperti kesturi.

“Lihatlah, Astor-sama. Inilah wajah Edenfilia sekarang.”

Hutan di bawah istana sudah tak lagi mempertahankan bentuk tumbuhan. Batang pohon berwarna kulit halus, dan di ujung ranting-rantingnya, bukannya buah, melainkan kuncup basah mengilap berbentuk seperti kemaluan wanita yang berdenyut-denyut. Setiap hembusan angin membuat seluruh hutan mengeluarkan suara desahan seperti gesekan, dan getah lengket turun bagaikan hujan.

Air sungai telah kehilangan kejernihannya, menjadi cairan keruh putih yang sangat kental, menghantam bebatuan tepi dengan suara mesum. Bahkan batu yang terkena cipratannya mulai bergetar seolah merasakan nikmat, lalu tumbuh lumut lengket yang seharusnya tak mungkin ada.

“‘Kabut Kemesuman’ yang dilepaskan Lilith terus-menerus mencemari bukan hanya makhluk hidup, tapi juga benda mati, konsep, bahkan ruang itu sendiri.”

Penjelasan Leonora melampaui pemahaman Astor-sama, namun pemandangan di depan mata memaksanya untuk percaya. Pegunungan di kejauhan membentuk siluet seperti tubuh-tubuh raksasa yang saling bertumpuk, dan dari puncaknya bukan lava, melainkan energi merah muda menyembur bagaikan mata air panas periodik.

“Udara selalu dipenuhi zat perangsang dalam konsentrasi tinggi, sehingga rakyat jelata sulit mempertahankan akal sehat. Para pria kehilangan hasrat untuk bekerja, hanya mendambakan kenikmatan tanpa henti. Tubuh para wanita dipaksa berubah—bukan lagi untuk melahirkan keturunan, melainkan diubah sempurna menjadi wadah kesenangan belaka.”

Jika memandang ke bawah ke kota, bangunan-bangunan di mana-mana telah melengkung menyimpang. Jendela rumah terbuka lebar bagai pupil mata kosong, pintu-pintu terbuka seenaknya, dan dari celah itu samar-samar terdengar nada persetubuhan yang tak pernah usai. Bahkan jalanan berbatu telah menjadi lembut seperti menyedot telapak kaki; setiap langkah mengalirkan arus listrik lemah yang membuat sumsum tulang belakang kebas oleh kenikmatan.

“Pasukan kesatria pun tak luput—separuh dari mereka telah ditelan kabut ini, akal mereka merosot menjadi binatang. Zirah yang dulu melindungi kini bukan lagi baja pelindung, melainkan alat ikat yang justru menonjolkan sensualitas tubuh mereka, menggoda lawan jenis tanpa malu.”

Leonora menggenggam erat pagar balkon batu. Bersama suara berderit, batu itu melunak mengikuti bentuk jarinya, lalu merayap dan menggosok tangannya bagai makhluk hidup. Bahkan benda mati pun telah bermutasi demi memberikan kenikmatan kepada yang menyentuhnya.

“Erosi seksual ini tak pernah berhenti. Kekuatan Lilith sedang menulis ulang hukum fisika hanya berdasarkan satu patokan: seberapa nikmat dan seberapa cabul segalanya. Gravitasi bekerja hanya untuk mengangkat rok, gesekan hanya ada untuk mengelus kulit, waktu dipelintir demi memperpanjang momen klimaks hingga abadi.”

Astor-sama menatap telapak tangannya sendiri. Kulitnya yang baru tiba di dunia ini, hanya karena tersentuh udara di sini, sudah terasa memanas dan merona. Darah di pembuluh nadinya bagai didorong hasrat yang mendidih.

“Etika normal, rasa malu, dan akal sehat—semuanya meleleh oleh ‘cinta’ kotor yang disebut Lilith, hingga manusia kembali menjadi gumpalan daging yang hanya kawin mengikuti naluri. Itulah bentuk akhir dunia ini.”

Leonora yang selesai menjelaskan akhirnya berbalik. Di matanya bercampur kebanggaan sebagai putri kerajaan dan ketakutan seorang wanita. Dan yang paling mencolok—sebagai bukti bahwa tubuhnya sendiri paling dalam terpapar pengaruh ini—bagian dada gaunnya kini semakin kencang menegang, garis payudaranya terpampang jelas. Meski ia masih melawan, tubuhnya pelan-pelan sedang diubah menjadi ‘wadah kemesuman’ yang sempurna.

“Astor-sama. Jiwa Anda menyimpan ‘hukum dunia lain’ yang mampu menentang pemaksaan tak masuk akal ini. Kumohon… dengan kekuatan itu, selamatkanlah aku—dan seluruh dunia ini—dari neraka klimaks yang tak bertepi.”

Ia berlutut, lalu meraih tangan Astor-sama. Telapak tangan itu panas membara… dan basah.